- Samsat Anambas Beri Diskon ke Masyarakat yang Bayar Pajak
- Tanggapan dan Jawaban Bupati Anambas Pandangan Umum RPJMD 2025-2029
- PLN Batam Gelar Diskusi Publik, Jelaskan soal Penyesuaian Tarif Listrik untuk Rumah Tangga Mampu
- PWI Kepri dan Batam Ziarahi Makam Sahabat Sejawat Penuh Haru
- Segera Bergulir Juli Ini, Batam 10K Diikuti Pelari Asing dari Berbagai Negara
- Duta Besar Australia Lawatan ke Batam
- Dorong Pertumbuhan Industri, PLN Batam Hadirkan Layanan Khusus Kelistrikan
- CIMB Niaga Gelar Festival Musik Sunset 2 Hari di Kebun TMII Jakarta
- PLN Batam Siap Laksanakan Kebijakan Tarif dari Pemerintah Mulai 1 Juli 2025
- Penemuan Batu Bata Bersejarah di Dapur Arang Batam
Penyimpangan APBDes Matak 2019 merupakan Diskresi Kepala Desa

Keterangan Gambar : Agung Ramadhan Saputra, SH. /1st
KORANBATAM.COM, ANAMBAS - Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disangkakan kepada Kades (Kepala Desa) dan Sekdes (Sekretaris Desa) Matak Kepulauan Anambas Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tahun 2019 hingga kini, masih dalam proses pemeriksaan.
Agung Ramadhan Saputra, selaku kuasa hukumnya, menerangkan bahwa, ada beberapa pengadaan barang atau jasa, yakni pertama penimbunan lapangan serbaguna. Kedua, pembuatan parit atau selokan, dan renovasi kantor desa, serta pembuatan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA).
Berdasarkan investigasi tertentu yang dilakuan oleh inspektorat Kabupaten Kepulauan Anambas atas permintaan Kepolisian Resor (Polres) Kepulauan Anambas, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara karena pengeluaran yang tidak transparan sebesar Rp221.710.700 juta, pada tanggal 19 November 2021 lalu. Namun, indikasi kerugian keuangan negara tersebut sudah dikembalikan oleh Kades dan Sekdes pada tanggal 20 Desember 2021.
Indikasi kerugian keuangan negara yang paling besar di antara empat pengadaan barang/jasa itu adalah penimbunan lapangan serbaguna dengan indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp153.000.000 juta.
“Pada tanggal 3 Januari 2019, ada permintaan dari masyarakat setempat kepada Kades agar mengeluarkan kebijakan pembangunan/penimbunan lapangan serbaguna untuk kepentingan umum (disertai dengan berita acara),” katanya.
Kemudian, lanjutnya, tanggal 4 Januari 2019 ditetapkan keputusan Kepala Desa di Nomor: 02 Tahun 2019 tentang Pembebasan Lahan Lapangan Serbaguna dan TPSA Desa Matak. Selanjutnya Kades memenuhi permintaan tersebut dengan cara melakukan pembebasan lahan atau memberikan ganti kerugian kepada pemilik/penguasa lahan sebesar Rp130.000.000 juta (dua kali pembayaran).
“Pembayaran pertama sekira bulan Februari 2019 sebesar Rp100 juta menggunakan uang pribadinya terlebih dahulu, sebelum pencairan dana desa karena penimbunan lapangan serbaguna untuk kepentingan umum itu tidak akan dapat dikerjakan di lahan tersebut sebelum terdaftar atau tercatat sebagai aset negara/desa. Sisa pembayaran Rp30 juta, dibayarkan pada saat pekerjaan selesai,” ujarnya.
Penyebab indikasi kerugian keuangan negara lainnya yaitu, pembayaran barang/jasa fiktif, upah pekerja yang fiktif, dan ketidaksesuaian antara harga material yang tertera dalam nota pembelian dengan harga dari keterangan penjual material pada saat dikonfirmasi inspektorat kabupaten Kepulauan Anambas.
Hal ini disebabkan biaya operasional yang tidak terakomodir. terkait pekerja fiktif, perlu diketahui bahwa yang menentukan nama-nama pekerja bukanlah Kades, Kades mengetahui nama-nama pekerja fiktif setelah pekerjaan selesai atau setidak-tidaknya pada saat diperiksa.
Salah satu asas yang berlaku di Indonesia adalah presumption of innocence (seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde), pembebasan lahan direalisasikan kades atas permintaan masyarakat yang dituangkan dalam produk hukum yaitu, keputusan Kepala Desa Matak Nomor: 02 Tahun 2019 tentang Pembebasan Lahan Lapangan Serbaguna dan TPSA, hal ini perlu diperhatikan karena berkenaan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
Selain itu, ada juga indikasi kerugian keuangan negara atas Pengadaan barang/jasa lainnya, namun tidak menutup kemungkinan indikasi tersebut juga termasuk dalam ranah administratif yang merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Syarat seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terkhusus korupsi bilamana ada means rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan pidana) Bagaimana jika terkait dengan pekerja- pekerja fiktif Kades tidak mengetahuinya ?. Tentu semestinya Kades tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana karena tidak terdeteksi adanya means rea.
Menurut Van Hamel, ahli hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada seseorang apabila satu, adanya suatu perbuatan, kedua mengetahui perbuatan itu dilarang, ketiga terbebaskan dari alasan pemaaf dan pembenar.
Kemudian dua unsur kesengajaan adalah willens and wetens, menghendaki dan mengetahui. Jika tidak terdapat unsur unsur tersebut dalam perkara ini, maka sudah sepatutnya peristiwa ini diselesaikan ke ranah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), berhubung indikasi kerugian keuangan negara sudah dikembalikan oleh karenanya perkara dianggap selesai menurut saya selaku kuasa hukum Kades dan Sekdes.
Sejalan dengan Pasal 7 ayat (5) huruf b Perjanjian Kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI tahun 2018 tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam penanganan Laporan atau Pengaduan Masyarakat yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi pada Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
"Kesalahan administrasi mempunyai kreteria antara lain terdapat kerugian keuangan negara/ daerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” katanya.
Tindak Pidana Korupsi terdiri dari beberapa unsur antara lain Kerugian Keuangan Negara, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/ PUU- XIV/2016 yang mencabut frasa “dapat” pada pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga terhadap unsur Kerugian Keuangan Negara haruslah nyata dan pasti, selain itu juga unsur Kerugian Keuangan Negara merupakan bestanddelen van het delict (inti delik), pertanyaannya bagaimana apabila Kerugian Keuangan Negara sudah dikembalikan ? dimana inti deliknya ? Dan bagaimana Hukumnya ?. Bukankah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memprioritaskan restorasi atau pemulihan keuangan negara.
Penulis: Agung Ramadhan Saputra