- Dj Tia Gazer Getarkan Golden Beach Bengkong Kedua Kalinya, Akui Luar Biasa dan Menyala
- Perayaan Paskah Tingkat Kota Batam Dimaknai dengan Kekompakan yang Terus Terjaga
- BP Batam Gelar Workshop tentang Logistik Aerocity
- Buka UKW ke-16 PWI Kepri, Kepala BP Batam: Wartawan Penting Dalam Menciptakan Informasi Sehat dan Berkualitas
- Nonton Bareng, Kepala BP Batam Apresiasi Antusiasme Masyarakat Dukung Kemenangan Timnas Indonesia vs Iraq U23
- Terima Kunjungan Insan Pers Riau, Kepala BP Batam Ajak Dukung Pembangunan
- Ciptakan Wartawan yang Berkompeten, Puluhan Jurnalis Ikuti UKW ke-16 di Kepri
- Rapat Pleno Terbuka KPU Anambas Mencuat Calon Terpilih Wajib Sampaikan LHKPN
- Berikut 13 Pengarahan Pangkoopsud I ke Prajurit Lanud RHF dan Satrad 213
- UAS Isi Tausiyah di Masjid BJ Habibie BP Batam, Ajak Jemaah Laksanakan Ibadah Tepat Waktu
PWI Pusat Minta Usut Tuntas Oknum Polisi Pelanggar Kemerdekaan Pers
Keterangan Gambar : Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari. (Foto : istimewa)
KORANBATAM.COM, JAKARTA - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menyayangkan tindakan kekerasan oleh pihak kepolisian terhadap para jurnalis yang meliput unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).
Padahal, wartawan dalam menjalankan tugas dan peranan profesinya tersebut, dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S. Depari mengatakan, Undang-Undang Pers berlaku secara Nasional untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI), bukan hanya untuk pers itu sendiri. Dengan begitu, semua pihak, termasuk petugas kepolisian juga harus menghormati ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pers.
“Pers bekerja, berpedoman pada kode etik jurnalistik, baik kode etik jurnalistik masing-masing organisasi maupun kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Di mana, pers bekerja menurut peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers,” jelas Atal dalam siaran pers, pada Jumat (9/10/2020).
Karenanya, pihak manapun yang menghambat dan menghalang-halangi fungsi dan kerja pers dianggap sebagai perbuatan kriminal dan diancam hukuman pidana dua tahun penjara.
“Dalam Peraturan Dewan Pers, diatur terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya, alat-alat kerja tidak boleh dirusak, dirampas, dan kepada wartawan yang bersangkutan tidak boleh dianiaya dan apalagi sampai dibunuh,” tegas Atal S. Depari.
Atal mengatakan, jika wartawan yang meliput aksi protes Undang-Undang Cipta Kerja sudah menunjukkan identitas dirinya dan melakukan tugas sesuai kode etik jurnalistik, maka, seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum. Maka tindakan oknum polisi yang merusak dan merampas alat kerja wartawan termasuk penganiayaan dan intimidasi ketika meliput demonstrasi anti UU Cipta Kerja merupakan suatu pelanggaran berat terhadap kemerdekaan pers.
“Perbuatan para oknum polisi itu, bukan saja mengancam kelangsungan kemerdekaan pers tapi, juga merupakan tindakan yang merusak sendi-sendi demokrasi. Tegasnya, ini merupakan pelanggaran sangat serius,” ujarnya.
Untuk itu, PWI Pusat meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Drs. Idham Azis, M.Si, untuk mengusut tuntas dan segera melakukan langkah-langkah hukum terhadap oknum polisi yang sudah menghambat, menghalangi tugas wartawan dengan melakukan perusakan, perampasan, dan penganiayaan kepada wartawan yang meliput unjuk rasa UU Cipta Kerja.
“Termasuk memberikan sanksi kepada oknum petugas yang sengaja menghambat kemerdekaan pers secara terang-terangan tersebut,” kata Atal.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Pusat, Mirza Zulhadi menambahkan, kekerasan terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa UU Cipta Kerja bukan hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan laporan dari PWI-PWI di daerah, hal yang sama juga terjadi di Medan, Lampung, Bandung, dan beberapa Provinsi lainnya.
“Kami mengimbau pimpinan Polri memberikan pembinaan, pelatihan, dan pendidikan kepada polisi yang bertugas di lapangan, bagaimana seharusnya menghadapi pers. Sehingga mereka paham bagaimana menghadapi pers di lapangan dan tidak main hakim sendiri yang merusak sendi-sendi demokrasi,” tutup Mirza.
Sumber: Humas PWI Pusat/PR