- Tanggapan dan Jawaban Bupati Anambas Pandangan Umum RPJMD 2025-2029
- PLN Batam Gelar Diskusi Publik, Jelaskan soal Penyesuaian Tarif Listrik untuk Rumah Tangga Mampu
- PWI Kepri dan Batam Ziarahi Makam Sahabat Sejawat Penuh Haru
- Segera Bergulir Juli Ini, Batam 10K Diikuti Pelari Asing dari Berbagai Negara
- Duta Besar Australia Lawatan ke Batam
- Dorong Pertumbuhan Industri, PLN Batam Hadirkan Layanan Khusus Kelistrikan
- CIMB Niaga Gelar Festival Musik Sunset 2 Hari di Kebun TMII Jakarta
- PLN Batam Siap Laksanakan Kebijakan Tarif dari Pemerintah Mulai 1 Juli 2025
- Penemuan Batu Bata Bersejarah di Dapur Arang Batam
- Istri di Bengkong Polisikan Suami gegara Cabuli Putri Pertamanya Sendiri
Sembilan Bulan, 553 Kasus Aduan Masuk ke Dewan Pers: Rilis Hanyalah Sumber Informasi

Keterangan Gambar : Ahli Pers Dewan Pers dan Analis di Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Rustam Fachri Mandayun, saat mengunjungi Museum Camp Vietnam di Pulau Galang, Rabu (28/9/2022). /iam/KORANBATAM.COM
KORANBATAM.COM - Ahli Pers Dewan Pers dan Analis di Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Rustam Fachri Mandayun berharap kepada seluruh media berbagai platform agar tidak mempelakukan rilis sebagai berita. Sebab, rilis hanyalah sumber informasi.
Perihal tersebut disampaikan Rustam melalui pesan singkat WhatsApp pada Selasa (4/10/2022) malam.
Hal ini menindaklanjuti terkait adanya 553 kasus aduan dari masyarakat yang masuk di Dewan Pers, Jakarta selama periode bulan Januari hingga September 2022.
Dari total di atas, sebanyak 429 kasus atau 77,58 persen sudah selesai penanganannya, sisanya ditargetkan selesai hingga akhir tahun ini.
“Penyakit terbaru di media kita saat ini salah satunya ialah mempelakukan rilis sebagai berita. Wartawan yang malas, menyalin rilis (copy), persis apa adanya. Padahal rilis hanyalah sumber informasi,” sebutnya kepada media ini.
Lebih jauh Rustam mengatakan, jika rilis ingin dijadikan berita harus ada proses Jurnalistik. Seperti memastikan sumber yang kredibel, informasinya benar dan melalui proses konfirmasi.
“Kalau mau dijadikan berita, harus ada proses Jurnalistiknya. Tentu sumbernya kredibel, informasinya benar dan dikonfirmasi. Nah jika ada pihak yang akan dirugikan dengan rilis tersebut harus diberi kesempatan untuk membela diri. Itulah prinsip keberimbangan berita,” ungkapnya.
Terpisah, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana menjelaskan bahwa, dengan kian meningkatnya pengaduan masyarakat ke Dewan Pers, di satu sisi menunjukkan tingkat kesadaran publik terhadap pers.
Namun, menurut Yadi, besarnya aduan menunjukkan pentingnya pembenahan dalam kerja pers. Karena itu, ia menambahkan, Dewan Pers mengimbau seluruh media berbagai platform agar menjaga kehidupan pers yang sehat.
“Semua media diharapkan menjunjung tinggi etika dan patuh pada norma-norma sosial maupun agama yang disepakati bersama dan berlaku di masyarakat,” kata Yadi dalam rilisnya.
Ia menilai, masih banyak konten media yang berpotensi melanggar etika Jurnalistik. Untuk itu, Dewan Pers juga meminta masyarakat agar ikut memantau sajian tidak sehat tersebut dan melaporkannya ke Dewan Pers disertai bukti-bukti yang ada.
Selama ini, Dewan Pers telah menyediakan layanan bagi masyarakat yang mengadukan masalah pemberitaan dan pers, mulai dari surat-menyurat secara langsung hingga secara daring (online).
“Kami lakukan penanganan pengaduan masyarakat secara tatap muka, luring dan daring, dengan melibatkan para analis dan jurnalis senior,” sebut Yadi, seperti dikutip dari laman publicanews.com.
Soal pelanggaran pers, kata dia, secara umum pelanggaran terkait kode etik yang dilakukan media adalah tidak melakukan uji informasi, tidak melakukan konfirmasi, dan menghakimi serta plagiasi.
“Ini cukup memprihatinkan. Kami menemukan satu berita yang judul hingga isinya sama dan dimuat oleh belasan media,” ujarnya.
Yadi melanjutkan, mengenai tindakan kepada media yang dinilai melanggar etika jurnalistik, antara lain wajib memberikan hak jawab/hak koreksi dan beberapa media diminta menyampaikan maaf secara terbuka kepada publik.
“Sesuai undang-undang, bagi yang tidak memuat kewajiban hak jawab ini dapat didenda sebesar Rp500 juta,” imbuhnya.
(iam)